Kamis, 29 September 2011

student hijo


STUDENT HIJO : MASIHKAH OASE DI TENGAH PADANG PASIR?

Di zaman sekarang memang sudah tidak banyak kalangan yang tertarik dengan sastra lama atau lebih dikenal dengan sebutan sastra klasik. Padahal banyak sekali nilai ideologis dan politik yang dapat dipetik dengan membaca sastra klasik. Seperti  novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan dan banyak lagi yang sering berkisah seputar  kehidupan beragama, sosial masyarakat dan sebagainya. Akan tetapi, seolah tidak kehabisan akal, lembaga pendidikan berusaha untuk mengenalkan sastra klasik ini kepada para pelajar agar mereka semua  tidak hanya terpaut dengan sastra modern seperti novel-novel populer.
Sastra klasik sebaiknya jangan hanya dijadikan sebagai pembanding dengan novel populer sekarang, karena akan terlihat jauh perbedaannya. Dari segi cerita dan proses penerbitannya saja sudah berbeda. Dahulu, di Indonesia banyak sekali novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, yakni lembaga penerbit yang didirikan oleh Belanda sebagai sarana hegemoni atas bangsa Indonesia. Dengan adanya Balai Pustaka tentu saja hanya novel dengan kriteria tertentu yang boleh dicetak dan diedarkan. Novel  Salah Asuhan misalnya, harus  melalui proses sensor yang agak banyak disana sini karena dianggap terlalu memojokkan pihak Belanda.
Tentu tidak banyak yang tahu tentang keberadaan novel yang berjudul Student Hijo. Novel yang awalnya berupa cerita bersambung ini kemudian dibukukan oleh pihak swasta. Sudah pasti novel  seperti Student Hijo ini tidak akan pernah mau diterbitkan oleh Balai Pustaka karena isinya banyak menceritakan adat kehidupan orang-orang Belanda.
Jika ditilik dari segi judul saja maka kita akan paham bahwa novel Student Hijo berusaha untuk meluruskan anggapan tentang siapa saja yang berhak untuk memperoleh pendidikan. Seperti yang kita ketahui, di zaman penjajahan Belanda hanya orang keturunan bangsawan atau priyayi lah yang berhak untuk memperoleh pendidikan, sedangkan rakyat biasa tidak dizinkan.
Di dalam novel ini diceritakan bahwa Hijo hanyalah anak seorang saudagar, bukan bangsawan. Dengan pemahaman yang berlaku pada saat itu tentu saja Hijo tidak berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Namun hal seperti itu ditentang oleh pengarang novel ini, Marco Kartodikromo. Marco justru membuat tokoh Hijo mampu memperoleh pendidikan yang layak bahkan hingga ke negeri Belanda sekalipun.
Hal semacam ini bisa dijadikan sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. Maka dari itu Balai Pustaka tidak mau menerbitkan novel-novel yang sejenis, karena bisa membahayakan. Selain itu, ketika membaca novel Student Hijo banyak sekali terlihat usaha Marco untuk membuat pribumi lebih terhormat daripada orang Belanda. Seperti kalimat yang mengatakan bahwa noni Belanda suka mengganggu laki-laki Jawa. Ada juga bagian novel ini yang menceritakan tentang kisah bagaimana kondisi Belanda di negeri asalanya. Rakyat pribumi tidak tahu menau tentang sejarah kehidupan orang Belanda, yang mereka tahu bahwa orang Belanda adalah orang yang berbangsa tinggi. Hal semacam ini adalah wujud ketakutan bangsa pribumi terhadap Belanda.***

“Lantas (saya) mulai mempertanyakan apa penyebab novel ini tidak dikenal oleh banyak orang. Apakah karena benar isinya yang terlalu menyodok bangsa Belanda atau kah karena cerita yang kurang menarik. Jika karena isinya yang menyindir orang Belanda, lalu bagaimana dengan novel Salah Asuhan ?”

Tentu saja ada banyak hal yang bisa menyodok orang Belanda dari novel ini. hanya saja ada rasa kecewa yang tertinggal ketika membaca novel Student Hijo ini. Selain bahasa nya yang agak membingungkan, dari segi isi dan judul novel banyak terdapat perbedaan. Ketika melihat judulnya saja, pembaca pasti akan berharap bahwa novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan orang pribumi sebagai seorang pelajar di negeri Belanda. Akan tetapi, justru yang lebih sering diceritakan adalah tentag kehidupan orang pribumi dengan orang Belanda.
Bukan hanya itu saja, novel ini tidak memiliki kekuatan cerita sama sekali. Ketika membacanya, (saya) seolah hanya membaca buku biasa yang mengisahkan kehidupan orang Jawa yang sibuk berpelesir dan memikirkan jodoh bagi anak-anak mereka.
Mungkin karena (saya) terpengaruh dengan gaya cerita novel Balai Pustaka yang sering berkisah tentang percintaan, namun entah kenapa saya tidak menemukan feel yang tepat ketika membaca novel ini. Awalnya saya berpikir Hijo akan menjadi cerita yang dominan, karena anggapan saya pertama kali adalah Hijo merupakan tokoh utama novel ini. Ternyata bukan, Hijo hanyalah tokoh sampingan. Selebihnya Marco hanya sibuk menceritakan tentang Biru, Wungu dan keluarga Hijo lainnya yang sering berlibur kemana-mana.
Dari novel ini (saya) tidak menemukan semangat kebangsaan. Karena saya hanya mendapati novel ini hanya berputar-putar pada pemahaman bahwa bangsa pribumi dan Belanda mampu hidup berdampingan.
Lantas (saya) mulai mempertanyakan apa penyebab novel ini tidak dikenal oleh banyak orang. Apakah karena benar isinya yang terlalu menyodok bangsa Belanda atau kah karena cerita yang kurang menarik. Jika karena isinya yang menyindir orang Belanda, lalu bagaimana dengan novel Salah Asuhan ?
Terlepas dari itu semua, novel ini memang bisa dikatakan sebagai novel dengan cerita yang simpel.  Novel ini masih bisa dikatakan oase, karena memang pada dasarnya dia berbeda dengan novel seangkatannya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar