Rabu, 12 Oktober 2011

es teler

siang siang yang panas dan menyegat ini pasti enak kalo makan yang seger-seger. misalnya es krim atau ga es buah. kebetulan deket sekolah gue ada yang jual es,, tapi cuma es teler doang sih,,, tp lumayan lah buat lepasin dahaga. setelah pulang sekolah, gue sama temen gue janjian buat mampir ke warung es teler tersebut. dengan sangat bernafsu dan saking ga sabarannya buat nyampe ke warung itu, gue sampe dorong-dorong temen gue untuk jalan lebih cepat.
tidak berapa lama, akhirnya gue sama temen gue itu sampe juga di warung estelernya. walaupun cuma gerobak dan bangku panjang yang tersedia, namun itu udah hampir masuk kriterialah buat disebut warung... (ini menurut gue lo ?)
setelah duduk dan memesan es telernya gue ngobrol bentar sama  temen gue. sekedar basa basi buat mengisi kekosongan waktu. eh,,, yang ada tenggorokan gue makin kering karena ngobrol, jadilah gue mutusin buat diem aja.
tidak berapa lama setelahnya, akhirnya pesanan gue dan temen gue dateng juga. bak menyambut kelahiran anak, gue merasa begitu bahagia,,, lebay banget yah ?
dengan tanpa pikir panjang atau pun mukadimah gue langsung nyeruput tuh es teler,, puuuuttt! wuih sedap na es teler,,,,,, kuah nya yang dingin dan manis itu mengalir dari mulut ke tenggorokan gue,,,, anjir pisan,,,, sedap ...
temen gue cuma keheranan ngeliat gue bertingkah kayak orang yang ga pernah ketemu es teler seumur hidupnya, bisa dibilang udik.
tapi bodo amat, yang penting gue bisa ngedapetin apa yang gue mau.
ternyata oh ternyata sebuah kejadian yang tak diduga-duga datang menimpa gue. lagi asyik makan eh minum es teler tiba-tiba ada benda keras jatuh dan menimpa kepala gue. sontak mangkuk es teler itu terbang karena terlepas dari pegangan gue. seketika gue ngerasa ga rela melihat es teler itu jatuh berserakan di tanah. padahal, sadar ga sadar ada yang lebih membahayakan hidup gue dari sekedar es teler yang cuma 3 ribu itu. sebuah balok penopang tenda gerobak es teler itu lepas dan jatuh nimpa gue, bruk! sangat cepat dan begitu menawan. gue yang kaget karena es teler yang jatuh baru nyadar kalo ternyata pala gue udah betelor, awalnya ga kerasa sakit namun lama kelamaan akhirnya gue uring-uringan juga nahan benjol.. huhuh
sementara temen gue yang menyaksikan secara langsung kejadian tersebut tak hentinya tertawa sampai jongkok2 sambil memegang perutnya kayak orang kram.
aduh  gue malu banget namun juga rugi dua kali de,,, ( satu karena es telernya tumpah,, yang satu lagi karena pala udah benjol..)

Sabtu, 01 Oktober 2011

nyamuk nakal

sore begini emang enak kalo OL. apalagi kalo Ol nya gratis gini.. hehe..
tapi sayang seribu sayang,,, lagi enakan OL tamu tak di undang sering datang mengganggu. hu,, sebel...
nyamuk nakal datang menyerbu kayak ga kasih ampun!!! duh,,, gatel....

Kamis, 29 September 2011

student hijo


STUDENT HIJO : MASIHKAH OASE DI TENGAH PADANG PASIR?

Di zaman sekarang memang sudah tidak banyak kalangan yang tertarik dengan sastra lama atau lebih dikenal dengan sebutan sastra klasik. Padahal banyak sekali nilai ideologis dan politik yang dapat dipetik dengan membaca sastra klasik. Seperti  novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan dan banyak lagi yang sering berkisah seputar  kehidupan beragama, sosial masyarakat dan sebagainya. Akan tetapi, seolah tidak kehabisan akal, lembaga pendidikan berusaha untuk mengenalkan sastra klasik ini kepada para pelajar agar mereka semua  tidak hanya terpaut dengan sastra modern seperti novel-novel populer.
Sastra klasik sebaiknya jangan hanya dijadikan sebagai pembanding dengan novel populer sekarang, karena akan terlihat jauh perbedaannya. Dari segi cerita dan proses penerbitannya saja sudah berbeda. Dahulu, di Indonesia banyak sekali novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, yakni lembaga penerbit yang didirikan oleh Belanda sebagai sarana hegemoni atas bangsa Indonesia. Dengan adanya Balai Pustaka tentu saja hanya novel dengan kriteria tertentu yang boleh dicetak dan diedarkan. Novel  Salah Asuhan misalnya, harus  melalui proses sensor yang agak banyak disana sini karena dianggap terlalu memojokkan pihak Belanda.
Tentu tidak banyak yang tahu tentang keberadaan novel yang berjudul Student Hijo. Novel yang awalnya berupa cerita bersambung ini kemudian dibukukan oleh pihak swasta. Sudah pasti novel  seperti Student Hijo ini tidak akan pernah mau diterbitkan oleh Balai Pustaka karena isinya banyak menceritakan adat kehidupan orang-orang Belanda.
Jika ditilik dari segi judul saja maka kita akan paham bahwa novel Student Hijo berusaha untuk meluruskan anggapan tentang siapa saja yang berhak untuk memperoleh pendidikan. Seperti yang kita ketahui, di zaman penjajahan Belanda hanya orang keturunan bangsawan atau priyayi lah yang berhak untuk memperoleh pendidikan, sedangkan rakyat biasa tidak dizinkan.
Di dalam novel ini diceritakan bahwa Hijo hanyalah anak seorang saudagar, bukan bangsawan. Dengan pemahaman yang berlaku pada saat itu tentu saja Hijo tidak berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Namun hal seperti itu ditentang oleh pengarang novel ini, Marco Kartodikromo. Marco justru membuat tokoh Hijo mampu memperoleh pendidikan yang layak bahkan hingga ke negeri Belanda sekalipun.
Hal semacam ini bisa dijadikan sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. Maka dari itu Balai Pustaka tidak mau menerbitkan novel-novel yang sejenis, karena bisa membahayakan. Selain itu, ketika membaca novel Student Hijo banyak sekali terlihat usaha Marco untuk membuat pribumi lebih terhormat daripada orang Belanda. Seperti kalimat yang mengatakan bahwa noni Belanda suka mengganggu laki-laki Jawa. Ada juga bagian novel ini yang menceritakan tentang kisah bagaimana kondisi Belanda di negeri asalanya. Rakyat pribumi tidak tahu menau tentang sejarah kehidupan orang Belanda, yang mereka tahu bahwa orang Belanda adalah orang yang berbangsa tinggi. Hal semacam ini adalah wujud ketakutan bangsa pribumi terhadap Belanda.***

“Lantas (saya) mulai mempertanyakan apa penyebab novel ini tidak dikenal oleh banyak orang. Apakah karena benar isinya yang terlalu menyodok bangsa Belanda atau kah karena cerita yang kurang menarik. Jika karena isinya yang menyindir orang Belanda, lalu bagaimana dengan novel Salah Asuhan ?”

Tentu saja ada banyak hal yang bisa menyodok orang Belanda dari novel ini. hanya saja ada rasa kecewa yang tertinggal ketika membaca novel Student Hijo ini. Selain bahasa nya yang agak membingungkan, dari segi isi dan judul novel banyak terdapat perbedaan. Ketika melihat judulnya saja, pembaca pasti akan berharap bahwa novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan orang pribumi sebagai seorang pelajar di negeri Belanda. Akan tetapi, justru yang lebih sering diceritakan adalah tentag kehidupan orang pribumi dengan orang Belanda.
Bukan hanya itu saja, novel ini tidak memiliki kekuatan cerita sama sekali. Ketika membacanya, (saya) seolah hanya membaca buku biasa yang mengisahkan kehidupan orang Jawa yang sibuk berpelesir dan memikirkan jodoh bagi anak-anak mereka.
Mungkin karena (saya) terpengaruh dengan gaya cerita novel Balai Pustaka yang sering berkisah tentang percintaan, namun entah kenapa saya tidak menemukan feel yang tepat ketika membaca novel ini. Awalnya saya berpikir Hijo akan menjadi cerita yang dominan, karena anggapan saya pertama kali adalah Hijo merupakan tokoh utama novel ini. Ternyata bukan, Hijo hanyalah tokoh sampingan. Selebihnya Marco hanya sibuk menceritakan tentang Biru, Wungu dan keluarga Hijo lainnya yang sering berlibur kemana-mana.
Dari novel ini (saya) tidak menemukan semangat kebangsaan. Karena saya hanya mendapati novel ini hanya berputar-putar pada pemahaman bahwa bangsa pribumi dan Belanda mampu hidup berdampingan.
Lantas (saya) mulai mempertanyakan apa penyebab novel ini tidak dikenal oleh banyak orang. Apakah karena benar isinya yang terlalu menyodok bangsa Belanda atau kah karena cerita yang kurang menarik. Jika karena isinya yang menyindir orang Belanda, lalu bagaimana dengan novel Salah Asuhan ?
Terlepas dari itu semua, novel ini memang bisa dikatakan sebagai novel dengan cerita yang simpel.  Novel ini masih bisa dikatakan oase, karena memang pada dasarnya dia berbeda dengan novel seangkatannya.
***

sitti nurbaya


PARADIGMA KELIRU TENTANG NOVEL SITI NURBAYA

Tulisan kali tidak banyak mengupas tentang isi novel Siti Nurbaya. Karena jika kita terlalu sering berputar-putar mengenai isi dan bagaimana pendapat pembaca terhadap isi ceritanya tentu saja hal ini akan menjadi biasa saja. Karena, menurut saya secara pribadi penilaian terhadap sebuah bacaan tergantung kepada kepala masing-masing pembaca.
Novel karya Marah Rusli ini bisa dikatakan novel wajib pecinta karya sastra Indonesia. Karena novel ini masih menggunakan gaya bahasa lama yang setiap cetakannya tidak pernah dirombak sedikitpun. Memang ada beberapa pihak yang menuntut agar novel ini dirombak, karena di dalam novel ini banyak ditulis mengenai adat kebiasaan masyarakat Minang Kabau yang ketat dan kuat. Hal ini disebabkan adat Minang sekarang jauh berbeda dengan adat lama ketika novel ini ditulis.
Novel ini adalah sebuah novel yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dan perbandingan. Karena, banyak nilai kebiasaan, agama, sosial, dan adat yang terkandung di dalamnya. Terlepas dari itu semua novel ini adalah hikayat kehidupan muda-mudi Minang yang kasih nya tak pernah sampai.
Adalah Siti Nurbaya dan Samsulbahri yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. perjalanan cinta keduanya adalah magnet terkuat yang membuat novel ini menarik. “ kasih tak sampai “ adalah kalimat yang pas untuk menggambarkan kisah cinta keduanya. Siti Nurbaya tidak bisa bersatu dengan Samsulbahri karena Nurbaya harus menyelamatkan ayahnya yang terbelit hutang dengan Datuk Mringgih. Sebenarnya dalam adat Minaggkabau datuk merupakan gelar kehormatan dalam adat Minang. Datuk adalah gelar panghulu atau kepala kaum persukuan di Minang. Datuk ada;ah sosok teladan yang harus memiliki kepribadian yang baik. Akan tetapi di dalam novel ini justru gelar Datuk sedikit ternodai. Karena di dalam novel ini Datuk maringgih adalah orang yang loba, tamak, berperangai layak nya seekor binatang.
Novel ini berlatar belakang di zaman pendudukan belanda, walaupun masa penjajahan tersebut tidak terlalu mendominasi cerita.
Ketika saya membaca novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, saya menemukan kesamaan cerita di dalam novel Siti Nurbaya ini. Azab dan duka sepanjang hidup. Penderitaan yang tiada berkesudahan menjadi inti cerita novel Merari dan novel Marah Rusli. Hal ini membuat saya mengambil kesimpulan sementara bahwa apakah di zaman novel lama ini ditulis, gaya cerita atau topik seperti inilah yang paling banyak diminati pembaca.
Kembali ke judul yang saya tulis di atas, ada paradigma yang salah mengenai novel ini. banyak orang yang mengatakan kalimat sebagai berikut , “ ini bukan zaman Siti Nurbaya, pernikahan yang dipaksakan oleh orang tua hanyalah pernikahan zaman Siti Nurbaya”. Sebenarnya hal ini adalah salah. Memang Siti Nurbaya menikah dengan hati terpaksa dengan Datuk Maringgih. Namun, tidak ada paksaan dari orang tua Nurbaya. Nurbaya melakukan pernikahan dengan Datuk Maringgih karena ia merasa kasihan dengan ayahnya yang terancam masuk penjara.
Seperti kutipan berikut :
Ayahku tiada menyahut apa-apa lain daripada, “ Lakukan kewajiban tuan-tuan!”
Tatkala kuliahat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, “ Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgih! “
(halaman 119)
Hal itu adalah menggambarkan bahwa pernikahan antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih sama sekali bukan pernikahan yang dipaksakan oleh ayah Nurbaya. Jadi diharapkan agar kedepannya tidak ada lagi yang berkata demikian.
Jika ditanya apakah novel ini menarik secara pribadi bagi saya saya mengatakan ya namun disisi lain juga tidak. Karena saya merasa ada beberapa hal yang tidak bisa saya terima begitu saja dari novel ini. Entah mungkin karena saya telah hidup di zaman yang berbeda dengan zaman ketika novel ini doterbitkan atau mungkin pengetahuan saya yang kurang mengenai adat kebiasaan Minang dahulunya.
Saya sebagai orang bersuku Minang kurang mengerti dengan istilah “ kembali ke mamak” yang artinya kemenakan dihidupi oleh mamak atau saudara laki-laki ibu. Karena setahu saya di zaman sekarang tetap saja ayah atau kepala keluarga lah yang mesti menghidupi anak dan istrinya.
Ada beberapa hal yang sangat saya tidak suka dari novel ini. Marah Rusli menulis hal-hal seperti perdukunan dan hal gaib yang membuat nilai negatif bagi orang Minang sendiri. Memang ada beberapa kalangan di zaman sekarang yang masih melakukan hal-hal seperti itu ( perdukunan dan obat-obatan) terhadap kalangan lain yang tidak mereka sukai. Hanya saja tinggal sedikit yang masih melakukan hal seperti itu. Apalagi hal semacam ini adalah hal yang diharamkan oleh agama.
Sikap dan watak Datuk Maringih yang suka memaksakan kehendaknya walau dengan cara apapun termasuk pesugihan secara tidak langsung merupakan aib bagi kaim Minang. Pembaca yang awam pasti akan menilai negatif terhadap orang Minang.
Ciri khas novel lama seperti ini sarat dengan unsur SARA. Bagi saya hal ini kurang baik karena akan ada pihak yang merasa dirugikan dan akan ada yang merasa disakiti.
Namun hal yang menarik bagi saya dan bagi pembaca lain, saya sangat yakin bahwa novel ini terasa nyata dan benar terjadi. Sampai sekarang banyak kalangan yang menganggap kisah Sitti Nurbaya adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi.

azab dan sengsara



AZAB DAN SENGSARA : KISAH DUKA NESTAPA KEHIDUPAN SEORANG ANAK GADIS

Novel seri sastra nostalgia ini bercerita tentang kisah kehidupan seorang anak gadis dari tanah Sipirok yang sepanjang hidupnya mengalami kesengsaraan. Beragam penderitaan yang dialami oleh sang gadis yang bernama Mariamin ini menjadi kisah dominan yang diceritakan di dalam novel ini. Novel ini memang dipenuhi oleh kisah – kisah dramatis para tokoh di dalamnya. Merari Siregar memberikan judul yang sangat singkat namun sanggup mewakili apa yang ada di dalam novel karyanya. “ Azab dan sengsara” hanyalah kata yang sanggup mewakili apa yang tercantum di dalam novel ini. Gaya penceritaan Merari Siregar menjadi ciri khas. Walaupun jika dibandingkan dengan novel populer sekarang, jalan cerita yang diambil di dalam novel ini sangat berbelit dan terlalu jauh melenceng dari cerita utama yakni tentang kesengsaraan seorang gadis.
Di dalam novel ini ada beberapa tokoh sentral yang menjadi perhatian pembaca. Ada tokoh Sutan Baringin  yang dikenal dengan watak keras dan loba. Sementara istrinya yang bernama Nuria justru berbudi pekerti yang baik lagi sholeh. Mereka berdua adalah sepasang suami istri yang terikat tanpa ada rasa cinta kasih. Sehingga pernikahan yang telah dikaruniai dua orang anak yakni Mariamin dan adiknya berjalan penuh duka.
Berbanding terbalik dengan sejarah keluarga Aminuddin tokoh utama lain di dalam novel ini. orang tua Aminuddin menjalani pernikahan yang didasari rasa cinta dan kasih sayang. Sehingga tidak ada duka atau pun rasa sedih yang menghampiri keluarga Aminuddin.
Kedua keluarga ini adalah keluarga berada dan berdarah bangsawan. Hanya saja suatu kemalangan membuat kedua keluarga yang masih satu saudara atau satu kaum ini menjadi jauh. Kesenjangan sosial akibat keluarga Mariamin yang mengalami kebangkrutan membuat Mariamin dan keluarga jatuh miskin. Di daerah Sipirok walaupun berdarah bangsawan namun tetap saja jika keluarga itu miskin maka perlahan kehormatan itu akan hilang dengan sendirinya.
Merari Siregar mengambil latar cerita dari kehidupan sehari-hari. Kejadian yang sering terjadi tentang masalah-masalah sosial dan ekonomi menjadi faktor dominan yang memberikan kesan kuat pada cerita. Merari mengangkat masalah perceraian antar suami istri yang semakin marak terjadi menjadi bahan pertimbangannya dalam membuat sebuah cerita. Dengan masalah seperti ini membuat pembaca akan memaknainya sebagai sebuah pembelajaran berharga.
Di dalam novel ini banyak hal yang bisa di ambil oleh para pembaca. Seperti masalah keluarga, kemiskinan, masalah sosial masyarakat, agama dan adat istiadat. Secara tidak langsung hampir di beberapa bagian cerita merari mengungkapkan beberapa kekecewaannya terhadap ikatan adat istiadat yang ia rasa tidak lagi relevan dengan kehidupan sekarang. Karena banyak sekali kelemahan-kelemahan yang dimiliki adat yang mesti diperbaiki lagi susunanannya agar tidak merugikan pemakainya. Seperti adat yang mengharuskan seorang laki-laki daam adat bataak untuk menyerahkan beberapa uang atau pun harta benda sebagai syarat untuk meminang mempelai perempuan. Selain itu larangan menikah sesuku atau semarga juga disebutkan di dalam novel ini tidak lagi relevan karena kalau pun orang sesuku itu dikatakan sekaum tetapi tentu pertalian darah tidak lagi sekuat zaman nenek moyang mereka.
Di dalam novel ini kisah cinta antara mariamin dan Aminuddin menjadi kisah yang paling memilukan. Hanya saja dalam menghadirkan kisah itu ke tengah pembaca, Merari menulisnya dengan sederhana dan sebisa mungkin terkesan begitu nyata dan apa adanya.
Sutan Baringin, ayah Mariamin masih satu saudara dengan ibu Aminuddin. Dan dalam adat Batak pernikahan anak keduanya boleh saja bahkan dinilai baik. Namun karena tamak dan loba nya ayah Mariamin berakibat fatal pada akhirnya. Karena sifat buruk Sutan Baringin , keluarga ini jatuh miskin dan tidak lagi menjadi keluarga terpandang di desa Sipirok. Terlebih lagi setelah Sutan Baringin meninggal maka kesengsaraan yang di alami oleh Mariamin beserta ibu dan adiknya semakin bertambah. Hanya Aminuddinlah yang mampu menyenangkan hati Mariamin.
Karena hubungan antara Mariamin dan Aminuddin sangat dekat maka terbitlah rasa cinta kasih diantara keduanya. Namun sayang orang tua Aminuddin tidak setuju untuk menikahkan keduanya karean menurut datu atau dukun setempat,  jika pernikahan keduanya terjadi hanya akan mendatangkan kesengsaraan bagi Aminuddin. Dari segi ini juga tergambar bahwa pikiran orang pada masa itu masih primitif dan percaya kepada takayul. Padahal mereka pada saat itu telah mengenal agama Islam. Namun untuk hal mistik yang mendatangkan dosa masih mereka percayai.
Karena hal inilah yang membuat Aminuddin dan Mariamin tidak bisa bersatu. Ditambah lagi Mariamin hanyalah gadis biasa yang miskin. Status sosial seseroang masih menjadi tolak ukur dalam menjalin sebuah hubungan keluarga.
Menurut saya sebagai seorang pembaca yang awam saya memang agak mengalami kesulitan dalam memahami kata atau pun kalimat yang digunakan di dalam novel ini. Mungkin dikarenakan novel ini adalah novel lama yang belum menggunakan bahasa Indonesia seperti sekarang. Tetapi justru disitulah letak kelebihan novel ini. Walaupun bahasa atau pun kata-kata yang digunakan di dalam novel ini adalah kata-kata yang jarang ditemui atau didengar sehari-hari namun tidak membuat pembaca menjadi jenuh atau pun merasa bosan membacanya. Banyak kosakata lama yang secara tidak langsung justru memberikan perbendaharaan baru untuk pembacanya.
Merari Siregar mengangkat kisah kehidupan seorang gadis yang terjadi pada zamannya. Namun hal seperti yang diceritakan pada novel ini pasti sudah sering atau banyak terjadi sekarang. Hanya saja jika di zaman dahulu sebuah perceraian merupakan aib yang melanggar syarak dan adat sekarang perceraian telah menjadi hal lumrah dan terdengar biasa saja terjadi.
Merari juga menghargai sosok seorang perempuan. Karena dengan novel ini ia menceritakan secara alami apa yang dialami perempuan apa adanya dan bagaimana laki-laki umumnya  sering memperlakukan perempuan dengan prilaku yang tidak pantas.
Selain berfokus pada kisah kehidupan seorang gadis yang sepanjang hidupnya mengalami kesusahan, merari juga menyelipkan beberapa kisah yang sarat akan makna. Seperti kisah seorang wanita pencari kayu yang tidak pernah bersyukur akan hidupnya. Wanita tua itu selalu meminta lebih kepada Tuhan hingga pada akhirnya Tuhan membalasnya dengan azab dan kematian yang tragis.  Selain itu ada juga ksiah seorang miskin yang sepanjang hidupnya ia jalani dengan penuh kegembiraa. Karena rasa ikhlas dalam menjalani kehidupan akan membuat seseroang mampu bersyukur dan menjalani kehidupan apa adanya.
Banyak sekali nilai positif yang dapat kita ambil dari novel ini. Walaupun novel ini hanyalah bacaan yang mungkin sebagaian kalangan menganggapnya sebagai sekedar bacaan bukan  gudang ilmu pengetahuan, namun jika novel ini dijadikan atau dilihat dari sisi berbeda maka kita akan mendapatkan pelajaran moral berharga yang belum tentu kita dapat di tempat lain.
Hal yang dicerminkan di dalam novel ini adalah tentang budi luhur dan keikhlasan dalam menjalani kehidupan. Walau seseroang terlahir dalam keadaan kaya belum tentu ia akan merasa bahagia. Begitu juga sebaliknya. Namun jika kemiskinan dan ketidakbahagiaan sering menghampiri kita bukan berarti kita akan berputus asa. Karena jika kita berputus asa maka kita tidak akan pernah mampu bertahan menghadapi kehidupan yang lebih keras lagi.
Novel ini secara tidak langsung merupakan pesan yang ingin disampaikan Merari Siregar tentang adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Novel ini merupakan bentuk pendapat tentang adat istiadat yang dirasa kurang baik dan hanya menyulitkan kaum pemakainya. Padahal seharusnya adat istiadat itu memudahkan kaum bukan menyulitkan.
Novel yang terdiri dari  sembilan bab termasuk penutup ini adalah gudang ilmu, pesan dan moral berharga terandung di dalamnya. Sangat disayangkan jika novel ini hanya menjadi bacaan bukan sumber pengetahuan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Dengan membaca novel ini saya larut dalam pikiran –pikiran saya sendiri. Merari siregar membuat saya hanyut dalam cerita atau kisah Mariamin yang menangung duka amat berat dalam hidupnya. Memang sangat sulit jika dibayangkan apa jadinya jika kejadian semacam benar adanya. Rasa iba atau kasihan takkan cukup untuk mengungkapkan bagaimana kondisi Mariamin. Bagi saya Mariamin hanya potret kehidupan yang terlalu terikat adat istiadat. Tanpa memperdulikan apa akibat yang akan ditanggung nantinya, Mariamin tetap menurut pada ibunya untuk menikah dengan orang lain. Padahal hatinya hanya terpaut dengan Amunddin yang juga telah menikah secara terpaksa dengan perempuan lain yang dirasa kedua orang tua Aminuddin lebih baik daripada Mariamin.



layar terkembang


PEREMPUAN DALAM JAMBANGAN

Layar Terkembang adalah sebuah novel klasik yang jauh berbeda dengan novel-novel lainnya. Perbedaan tersebut tergambar dengan jelas dari kisah yang hadir di dalamnya, maupun karakter atau tokohnya. Di dalam novel ini diceritakan kisah tiga anak manusia yang bernama Tuti, Maria dan Yusuf. Tuti dan Maria adalah kakak beradik, sementara Yusuf adalah tunangan dari Maria. Perbedaan karakter antara Tuti dan Maria sebenarnya merupakan salah satu nilai plus dari novel ini. Jika kita terbiasa disuguhi karakter perempuan yang santun dan penurut layaknya Sitti Nurbaya, maka hal seperti itu tidak akan kita temukan dalam novel ini. Maria adalah sosok perempuan yang periang dan bersahaja. Sementara Tuti adalah perempuan yang bisa disebut sebagai ikon emansipasi wanita pada masanya.  Di dalam novel ini Tuti adalah perempuan yang suka bersosialisasi dalam berbagai macam pergerakan untuk perempuan.
Pada dasarnya, novel ini bukanlah novel yang sekedar menghadirkan kisah cinta seperti novel lainnya. Kisah cinta di dalam Layar Terkembang justru memiliki banyak makna. Seperti halnya Tuti yang berjuang demi kaum perempuan, yang secara tidak langsung merupakan wujud cinta terhadap kaumnya. Sementara cinta antara Maria dan Yusuf adalah cinta yang tidak “ buta” layaknya cinta remaja yang dimabuk asmara. Agaknya memang Sutan Takdir Alisjahbana memang tidak bermaksud untuk membuat pembaca novel ini untuk terpaku kepada genre sastra yang sama, karena di dalam Layar terkembang ada nuansa baru dan roh baru yang bisa membuka wawasan segar di benak pembaca.
Pemahaman terhadap Layar Terkembang adalah bergantung kepada setiap pembacanya. Setiap orang akan mempunyai pandangan tersendiri terhadap novel ini. Hanya saja jika menilik dari segi judul, kata-kata seperti “ layar” atau pun “ terkembang “ bukanlah kata yang asal bunyi. Ada pemahaman lain dibalik dua kata tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI), “ layar” berarti kain tebal yg dibentangkan untuk menadah angin agar perahu (kapal) dapat berjalan. Sementara “ terkembang atau kembang” adalah mekar terbuka atau membentang yang juga dapat diartikan sebagai lambang seorang perempuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa layar terkembang memiliki makna perempuan yang telah berpikiran maju. Hal ini diperkuat dengan tokoh Tuti yang berjuang demi persamaan dan hak perempuan yang dianggapnya terlalu dikuasi oleh kaum lelaki.
Banyak sekali hal-hal baru yang disuguhkan di dalam novel ini. Selain tokoh Tuti yang sudah berpikiran maju untuk zamannya, juga terdapat pembelajaran seperti cita-cita setiap orang harus dikejar. Betapa pun sulit dan kerasnya perjuangan untuk menggapai cita-cita tersebut, maka tidak ada jalan lain selain tetap mengejarnya, bukan mengelak lalu menghindar. Semua tokoh di dalam novel ini sudah berpikiran maju bahkan dikisahkan mampu menempuh pendidikan yang selayaknya. Tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal menuntut ilmu. Walaupun masih ada beberapa kalangan yang menyebut bahwa perempuan akan percuma untuk disekolahkan tinggi karena nantinya setelah berkeluarga ia akan mengurus rumah tangga juga. Pikiran apatis seperti ini tidak lagi ditunjukkan didalam novel ini. Setiap orang berhak memperoleh pendidikan, siapapun dan bagaimana pun dia.
Kita akan menemukan banyak perbedaan mencolok dari novel ini jika kita membandingkannya dengan novel Balai Pustaka lain seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, maupun novel perlawanan seperti Student Hijo. Jika di dalam Student Hijo sudah ada nuansa pergerakan dan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial pada masa itu, namun di dalam novel ini pergerakan semacam itu jauh lebih keras dan mencolok. Pikiran dan anggapan orang sejak dahulunya tentang perempuan dikoyak dan diluruskan di dalam novel ini. Bagaimana tidak, jika seorang perempuan hanya dijadikan pendamping dan pelampiasan nafsu lelaki maka hak dan cita-cita perempuan akan tergerus bahkan mungkin akan terjadi penghambaan seorang perempuan terhadap laki-laki sepanjang zaman. Melalui tokoh Tuti hal semacam ini diluruskan kembali.
Namun, tentu saja ada beberapa hal yang mungkin terlalu berlebihan. Jika perempuan terus menuntut untuk disamakan hak dan kewajibannya dengan laki-laki maka hal yang jauh lebih buruk tentu akan terjadi. Kita bisa lihat di zaman sekarang perempuan jauh lebih mapan ketimbang laki-laki dalam hal pekerjaan dan masa depan. Hal semacam ini tentu akan membuat perempuan merendahkan derajat lelaki, tidak terkecuali suaminya. Karena, seorang laki-laki yang beristri mapan daripada dirinya sendiri akan menimbulkan kesenjangan di dalam rumah tangga. Tidak lucu jika suami berbalik mengerjakan pekerjaan rumah tangga sementara itu sang istri bekerja di luar rumah.
Barangkali ada kesalahpahaman terhadap kata-kata emansipasi wanita. Karena menurut hemat saya emansipasi adalah usaha untuk menuntuk hak bagi seorang perempuan dalam beberapa hal seperti pendidikan dan keterampilan hidup. Selebihnya perempuan tetaplah harus menurut terhadap imamnya yakni laki-laki.
***
Kebanyakan novel pada akhirnya akan ditutup dengan kisah cinta yang tragis dan mengharu biru. Namun di dalam novel ini tidak demikian halnya. Memang diceritakan bahwa Maria wafat karena terkena penyakit malaria dan Yusuf pun menikah dengan Tuti atas permintaan Maria semasa ia masih hidup. Namun kisah seperti ini tentu saja dapat terjadi karena Maria yang merasa hidupnya tidak akan lama lagi ikhlas menyerahkan Yusuf kepada Tuti karena ia merasa keduanya tidak pantas mencari peruntungan terhadap orang lain. Ikhlas seperti itulah yang mungkin tidak banyak dimiliki oleh setiap orang di zaman sekarang. Jika seseorang ikhlas untuk memberikan hak atau milikinya terhadap orang lain tentu tidak akan pernah terjadi kasus seperti orang kelaparan, kemiskinan bahkan tindakan kriminal. Seorang yang ikhlas dengan penghasilannya tidak akan pernah korupsi. Seorang guru yang ikhlas mengajari muridnya tidak akan pernah menyiakan waktu mengajarnya. Karena pada hakekatnya, sesuatu yang berdasar ikhlas akan bernilai ibadah.
Di dalam novel ini memang Tuti diceritakan sebagai sosok wanita yang nyaris sempurna. Namu tentu saja tidak ada sesuatu yang sempurna. Karena akhirnya Tuti tetap merasakan kesepian dan jemu dengan rutinitas nya di dalam pergerakan perempuan. Lain dengan Maria yang selalu riang, hidupnya tidak pernah membosankan apalagi menjemukan. Karena Maria jauh lebih santai dalam memandang hidup dan kehidupan orang lain. Maria bukanlah orang yang apatis namun dia tidak ingin terlalu mencampuri urusan orang lain. Biarlah orang menuruti apa yang menjadi kehendaknya.
Sama halnya dengan pemahaman tentang arti sebuah kebahagiaan di dalam novel ini. Bagi kebanyakan orang bahagia dapat di takar dan diukur kadarnya. Namun kebahagiaan yang sejati tidak pernah bisa diukur bahkan ditakar oleh orang lain selain daripada pribadi itu sendiri. Selama kata hati masih menyeru kepada kebaikan maka tidak salah untuk menurutkan kata hati tersebut. Inilah yang ingin disampaikan di dalam novel ini. Dan bagi pembaca yang tahu akan baik dan buruknya dari novel ini tentu akan lebih mafhum bagaimana ia harus menyikapi novel ini. Sekali lagi, bergantung isi kepala masing-masing.
***