Kamis, 29 September 2011

sitti nurbaya


PARADIGMA KELIRU TENTANG NOVEL SITI NURBAYA

Tulisan kali tidak banyak mengupas tentang isi novel Siti Nurbaya. Karena jika kita terlalu sering berputar-putar mengenai isi dan bagaimana pendapat pembaca terhadap isi ceritanya tentu saja hal ini akan menjadi biasa saja. Karena, menurut saya secara pribadi penilaian terhadap sebuah bacaan tergantung kepada kepala masing-masing pembaca.
Novel karya Marah Rusli ini bisa dikatakan novel wajib pecinta karya sastra Indonesia. Karena novel ini masih menggunakan gaya bahasa lama yang setiap cetakannya tidak pernah dirombak sedikitpun. Memang ada beberapa pihak yang menuntut agar novel ini dirombak, karena di dalam novel ini banyak ditulis mengenai adat kebiasaan masyarakat Minang Kabau yang ketat dan kuat. Hal ini disebabkan adat Minang sekarang jauh berbeda dengan adat lama ketika novel ini ditulis.
Novel ini adalah sebuah novel yang bisa dijadikan bahan pertimbangan dan perbandingan. Karena, banyak nilai kebiasaan, agama, sosial, dan adat yang terkandung di dalamnya. Terlepas dari itu semua novel ini adalah hikayat kehidupan muda-mudi Minang yang kasih nya tak pernah sampai.
Adalah Siti Nurbaya dan Samsulbahri yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. perjalanan cinta keduanya adalah magnet terkuat yang membuat novel ini menarik. “ kasih tak sampai “ adalah kalimat yang pas untuk menggambarkan kisah cinta keduanya. Siti Nurbaya tidak bisa bersatu dengan Samsulbahri karena Nurbaya harus menyelamatkan ayahnya yang terbelit hutang dengan Datuk Mringgih. Sebenarnya dalam adat Minaggkabau datuk merupakan gelar kehormatan dalam adat Minang. Datuk adalah gelar panghulu atau kepala kaum persukuan di Minang. Datuk ada;ah sosok teladan yang harus memiliki kepribadian yang baik. Akan tetapi di dalam novel ini justru gelar Datuk sedikit ternodai. Karena di dalam novel ini Datuk maringgih adalah orang yang loba, tamak, berperangai layak nya seekor binatang.
Novel ini berlatar belakang di zaman pendudukan belanda, walaupun masa penjajahan tersebut tidak terlalu mendominasi cerita.
Ketika saya membaca novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, saya menemukan kesamaan cerita di dalam novel Siti Nurbaya ini. Azab dan duka sepanjang hidup. Penderitaan yang tiada berkesudahan menjadi inti cerita novel Merari dan novel Marah Rusli. Hal ini membuat saya mengambil kesimpulan sementara bahwa apakah di zaman novel lama ini ditulis, gaya cerita atau topik seperti inilah yang paling banyak diminati pembaca.
Kembali ke judul yang saya tulis di atas, ada paradigma yang salah mengenai novel ini. banyak orang yang mengatakan kalimat sebagai berikut , “ ini bukan zaman Siti Nurbaya, pernikahan yang dipaksakan oleh orang tua hanyalah pernikahan zaman Siti Nurbaya”. Sebenarnya hal ini adalah salah. Memang Siti Nurbaya menikah dengan hati terpaksa dengan Datuk Maringgih. Namun, tidak ada paksaan dari orang tua Nurbaya. Nurbaya melakukan pernikahan dengan Datuk Maringgih karena ia merasa kasihan dengan ayahnya yang terancam masuk penjara.
Seperti kutipan berikut :
Ayahku tiada menyahut apa-apa lain daripada, “ Lakukan kewajiban tuan-tuan!”
Tatkala kuliahat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, “ Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgih! “
(halaman 119)
Hal itu adalah menggambarkan bahwa pernikahan antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih sama sekali bukan pernikahan yang dipaksakan oleh ayah Nurbaya. Jadi diharapkan agar kedepannya tidak ada lagi yang berkata demikian.
Jika ditanya apakah novel ini menarik secara pribadi bagi saya saya mengatakan ya namun disisi lain juga tidak. Karena saya merasa ada beberapa hal yang tidak bisa saya terima begitu saja dari novel ini. Entah mungkin karena saya telah hidup di zaman yang berbeda dengan zaman ketika novel ini doterbitkan atau mungkin pengetahuan saya yang kurang mengenai adat kebiasaan Minang dahulunya.
Saya sebagai orang bersuku Minang kurang mengerti dengan istilah “ kembali ke mamak” yang artinya kemenakan dihidupi oleh mamak atau saudara laki-laki ibu. Karena setahu saya di zaman sekarang tetap saja ayah atau kepala keluarga lah yang mesti menghidupi anak dan istrinya.
Ada beberapa hal yang sangat saya tidak suka dari novel ini. Marah Rusli menulis hal-hal seperti perdukunan dan hal gaib yang membuat nilai negatif bagi orang Minang sendiri. Memang ada beberapa kalangan di zaman sekarang yang masih melakukan hal-hal seperti itu ( perdukunan dan obat-obatan) terhadap kalangan lain yang tidak mereka sukai. Hanya saja tinggal sedikit yang masih melakukan hal seperti itu. Apalagi hal semacam ini adalah hal yang diharamkan oleh agama.
Sikap dan watak Datuk Maringih yang suka memaksakan kehendaknya walau dengan cara apapun termasuk pesugihan secara tidak langsung merupakan aib bagi kaim Minang. Pembaca yang awam pasti akan menilai negatif terhadap orang Minang.
Ciri khas novel lama seperti ini sarat dengan unsur SARA. Bagi saya hal ini kurang baik karena akan ada pihak yang merasa dirugikan dan akan ada yang merasa disakiti.
Namun hal yang menarik bagi saya dan bagi pembaca lain, saya sangat yakin bahwa novel ini terasa nyata dan benar terjadi. Sampai sekarang banyak kalangan yang menganggap kisah Sitti Nurbaya adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi.

1 komentar:

  1. Casino site for Asian players, casinos, jackpot slots, roulette - LuckyClub
    Welcome to LuckyClub Casino. We provide free games such as Blackjack, Craps, Roulette, Video Poker luckyclub and Video Poker,

    BalasHapus